TOKOH - TOKOH PENDIDIKAN
Oleh : Yusmariono
BAB I
PENDAHULUAN
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan
tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih
banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di
Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan
kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan
kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di
tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan
kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu
pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh
setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah
menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk
pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber
daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di
negara-negara lain.
Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam
peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di
berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal
itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan
sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi
pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data
Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan
sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years
Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah
yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan
dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia
dalam kategori The Diploma Program (DP).
Istilah pendidikan, memang dapat
diartikan secara sempit dan luas. Dalam arti yang sempit, pendidikan sering
disama artikan dengan pengajaran, pembimbingan, atau pelatihan. Hal ini identik
dengan ungkapan beberapa ahli pendidikan bahwa dalam pengertian yang lebih
sempit, pendidikan dibatasi pada fungsi tertentu di dalam masyarakat yang
terdiri dari penyerahan adat istiadat (tradisi) dengan latar belakang
sosialnya, pandangan hidup masyarakat itu kepada warga masyarakat generasi
berikutnya dan seterusnya (Tim Dosen FIP IKIP Malang, 1987:5).
Secara ilmiah (artian luas),
Tirtaraharja (1996:37) mengemukakan bahwa pendidikan diartikan sebagai suatu
kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian
peserta didik. Sejalan dengan pendapat tersebut, Drijarkara (1980)
mengemukakan bahwa pendidikan adalah “memanusiakan” manusia muda. UU No.2 Tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan, bahwa pendidikan merupakan
usaha yang disengaja dan terencana dalam mengembangkan pengetahuan, sikap, dan
keterampilan bagi seseorang untuk masa depannya. Dalam pasal satu undang-undang
tersebut, ditegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan
peserta didik melalui kegiatan bimbingan pengajaran, dan/atau latihan bagi
peranannya di masa yang akan datang.
Dari arti pendidikan itu, dapatlah
dikaji bahwa pendidikan itu merupakan investasi jangka panjang, baik untuk diri
peserta didik maupun untuk “kelangsungan” bangsa. Pendidikan berfungsi sebagai
alat pengembangan pribadi, pengembangan warga negara, serta pengembangan
kebudayaan dan pengembangan bangsa, yang pada akhirnya pendidikan itu
diharapkan dapat mewujudkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun
dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Di Indonesia pengembangan pemikiran
pendidikan pada mulanya tidak terlepas dari wacama dikotomik antara pendidikan
keagamaan dan pendidikan umum. Para tokoh Islam yang menaruh perhatian pada
pengembangan pemikiran pendidikan di Indonesia umumnya juga berangkat dari
kegelisahan dikotomik tersebut. Kepedulian para pembaharu pemikiran Islam atas
keterpurukan Umat Islam disampaikan dalam bentuk reaktualisasi pemikiran
pemahaman keagamaan/keislaman termasuk pemahaman warga masyarakat tentang
pendidikan yang kala itu sangat dikotomik dan telah menjadi mainstream.
Para tokoh yang tersadarkan dengan kondisi Umat yang memprihatinkan berupaya menelaah faktor-faktor penyebab keterbelakangan Umat Islam yang sebenarnya dahulu kala pernah menjadi acuan bagi peradaban dunia. Intinya, para tokoh meyakini bahwa dengan merubah paradigma pemahaman keagamaan Umat akan mampu menghasilkan kebaikan-kebaikan yang sangat diperlukan dalam mengatasi keterbelakangan. Pendidikan merupakan kunci menuju peradaban manusia yang berkualitas.
Para tokoh yang tersadarkan dengan kondisi Umat yang memprihatinkan berupaya menelaah faktor-faktor penyebab keterbelakangan Umat Islam yang sebenarnya dahulu kala pernah menjadi acuan bagi peradaban dunia. Intinya, para tokoh meyakini bahwa dengan merubah paradigma pemahaman keagamaan Umat akan mampu menghasilkan kebaikan-kebaikan yang sangat diperlukan dalam mengatasi keterbelakangan. Pendidikan merupakan kunci menuju peradaban manusia yang berkualitas.
Paling tidak terdapat dua tokoh yang
turut andil dalam perubahan ide, wawasan dan konsepsi tentang pendidikan.
Melalui berbagai kegiatan/pendekatan politik dan kultural di Indonesia keduanya
berhasil secara signifikan dalam merubah wajah dan sistem (manajemen)
pendidikan khususnya pada cakupan kurikulum pendidikan dan lembaga-lembaga
pendidikan Islam. Pokok-pokok pemikiran kedua tokoh ini akhirnya menginspirasi
dinamika pendidikan di Indonesia hingga kini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Ahmad Dahlan
1. Riwayat Hidup
KH. Ahmad Dahlan dilahirkan di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868 dengan nama kecil Muhammad Darwis. Beliau adalah putra keempat dari tujuh bersaudara pasangan KH. Abu Bakar (seorang ulam dan khatib terkemuka mesjid besar Kesultanan Yogyakarta dan Nyai Abu Bakar (putri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga. Dalam silsilah, disebutkan bahwa beliau masih keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim.
KH. Ahmad Dahlan dilahirkan di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868 dengan nama kecil Muhammad Darwis. Beliau adalah putra keempat dari tujuh bersaudara pasangan KH. Abu Bakar (seorang ulam dan khatib terkemuka mesjid besar Kesultanan Yogyakarta dan Nyai Abu Bakar (putri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga. Dalam silsilah, disebutkan bahwa beliau masih keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim.
Sebagai
seorang anak ulama, KH. Ahmad Dahlan yang memiliki nama kecil Muhammad Darwis
sudah belajar agama dan bahasa Arab kepada sang ayah. Setelah belajar agama di
kampungnya, beliau melanjutkan sekolah ke Mekah setelah sang xayah menyuruh
menunaikan rukun Islam kelima tahun 1883.
Saat
berangkat ke Mekah untuk menuaikan haji, Muhammad Darwis masih berumur 15
tahun. Beliau sempat bermukim di Mekah selama lima tahun untuk memperdalam ilmu
agama seperti qira’at, tauhid, tafsir, fikih, ilmu mantiq dan ilmu falak.
Setelah kembali dari Mekah pada tahun 1902, beliau berganti nama menjadi
Haji Ahmad Dahlan.
Satu tahun kemudian, beliau
berkesempatan untuk memperdalam ilmu agama lagi di Mekah.Dari sini,
beliau banyak belajar mengenal pemikiran para pembaharu Islam. Antara lain Ibnu
Taimiyah, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha.
2. Pokok Pemikiran Pendidikan Ahmad Dahlan
Salah satu tokoh yang mampu merubah paradigma Umat Islam Indonesia adalah Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Beliau merasa tidak puas dengan sistem dan praktik pendidikan saat itu. Menurutnya tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang baik budi, luas pandangan dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat luas. Gerakan Muhammadiyah dikenal luas sebagai gerakan yang dipengaruhi oleh gagasan modern dan reformis pembaru Mesir Muhammad Abduh (1849-1905). Muhammadiyah menyerukan agar kaum Muslim kembali pada Islam yang murni dan menafsirkan untur-unsur kebudayaan Barat dalam kerangka ajaran Islam.
Salah satu tokoh yang mampu merubah paradigma Umat Islam Indonesia adalah Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Beliau merasa tidak puas dengan sistem dan praktik pendidikan saat itu. Menurutnya tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang baik budi, luas pandangan dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat luas. Gerakan Muhammadiyah dikenal luas sebagai gerakan yang dipengaruhi oleh gagasan modern dan reformis pembaru Mesir Muhammad Abduh (1849-1905). Muhammadiyah menyerukan agar kaum Muslim kembali pada Islam yang murni dan menafsirkan untur-unsur kebudayaan Barat dalam kerangka ajaran Islam.
Sebagaimana
para pembaharu lainnya Ahmad Dahlan juga peduli atas pencerahan akal, logika
dan filsafat. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menunjukkan tingginya
minat Beliau dalam pencerahan akal, yaitu: (1) pengetahuan tertinggi adalah
pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap kritis,
terbuka, mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akal dengan
di dasari hati yang suci; (2) akal merupakan kebutuhan dasar hidup manusia; (3)
sedangkan ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia
yang hanya akan dicapai jika manusia itu menyerah/ yakin kepada petunjuk Allah
swt.
Pribadi Ahmad Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Manaar, meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam, menyerukan ijtihad tapi menolak taqlid . Kehidupan kaum muslim sekarang ini sangat mengharapkan adanya pikiran-pikiran baru mencerahkan sehingga keyakinan Islamiah tampil di hadapan problem-problem aktual kaum muslimin seperti keterbelakangan dan kolonialisme.
Hampir seluruh pemikiran Dahlan berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat Islam waktu itu yang tenggeiam dalam kejumudan { stagnasi }, kebodohan, serta keterbelakangan. Kondisi ini semakin diperparah dengan politik kolonial Belanda yang sangat merugikan bangsa Indonesia. Latar belakang situasi dan kondisi tersebut telah mengilhami munculnya ide pembaharuan Dahlan. Ide ini sesungguhnya telah muncul sejak kunjungannya pertama ke Makkah. Kemudian ide tersebut lebih dimantapkan setelah kunjungannya yang kedua. Hal ini berarti, bahwa kedua kunjungannya merupakan proses awal terjadinya kontak intelektualnya baik secara langsung maupu tidak langsung dengan ide-ide pembaharuan yang terjadi di Timur Tengah pada awal abad XX .
Secara umum, ide-ide pembaharuan Dahlan dapat diklasifikasikan pada dua dimensi, yaitu:
1. Berupaya memurnikan ( purifikasi ) ajaran islam dari Khurafat, tahayul dan bid'ah yang telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat Islam dan telah berlangsung cukup lama.
2. Mengajak umat Islam untuk keluar dari jaring terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio yang sesuai dengan yang diajarkan Nabi SAW.
Sebenarnya usaha pembaharuan K.H.A.Dahlan sudah dimulai sejak 1896 yaitu dengan:
1. Mendirikan surau yang diarahkan ke Kiblat yang betul dan berlanjut membuat garis shaf di Masjid Agung yang akibatnya tidak hanya garis shaf harus dihapus, tetapi suraunya dibongkar.
2. Menganjurkan supaya Muslim berpuasa dan berhari raya menurut hisab.
Menurut Dahlan upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan . Oleh karena itu pendidikan hendaknya di tempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Mereka hendaknya dididik agar cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memeta dinamikan kehidupannya pada masa depan.
Adapun kunci untuk meningkatkan kemajuan umat islam adalah kembali kepada Al-Qur'an dan hadits. Mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam secara komprehensif, menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui pendidikan. Pelaksanaan pendidikan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal ( khaliq ) maupun horizontal ( makhluk ).
Meskipun dalam banyak tempat, Al-Qur'an senantiasa menekankan pentingnya penggunaan akal, akan tetapi Al-Qur'an juga mengakui akan keterbatasan kemampuan akal. Hal ini memiliki dua dimensi, yaitu fisika dan metefisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut yaitu dimensi ruh dan jasad. Batasan di atas memberikan arti, bahwa dalam epistemologi pendidikan Islam, ilmu pengetahuan dapat diperoleh apabila peserta didik ( manusia ) mendaya gunakan berbagai media, baik yang diperoleh melelui persepsi indrawi, akal, kalbu, wahyu maupun ilham. Oleh karena itu, aktifitas pendidikan dalam Islam hendaknya memberikan kemungkinan yang sebesar-besarnya bagi pengembangan kesemua dimensi.
Menurut A.Dahlan, pengembangan tersebut hendaknya merupakan proses integrasi ruh dan jasad. Konsep ini diketengahkannya dengan menggariskan perlunya pengkajian ilmu pengetahuan secara langsung, sesuai prinsip-prinsip Al-Qur'an dan sunah, bukan semata-mata dari kitab tertentu. Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut bukan merupakan hal yang mudah, terutama bila dikaitkan dengan kondisi objektif lembaga-lembaga pendidikan Islam-Islam tradisional waktu itu. Dalam hal ini, Dahlan melihat bahwa problem epistemologi dalam pendidikan Islam tradisional disebabkan karena idiologi ilmiahnya hanya terbatas pada dimensi religious yang membatasi diri pada pengkajian kitab-kitab klasik para mujtahid terdahulu, khususnya dalam madzhab Syafi'i. Sikap ilmiah yang demikian menyebabkan lahirnya pemikir yang tidak mampu mengolah dan menganalisa secara kritis ilmu pengetahuan yang diperoleh, sehingga produktif dan kreatif terhadap perkembangan peradaban kekinian. Untuk itu diperlukan kerangka metodologis yang bebas, sistematis, dan mengacu pada nilai universal ajaran Islam. Proses perumusan kerangka ideal yang demikian, menurut K.H.A.Dahlan disebut dengan proses ijtihad yaitu mengarahkan otoritas intelektual untuk sampai pada suatu konklusi tentang berbagai persoalan. Dalam konteks ini, pendidikan merupakan salah satu bentuk artikulasi tajdid {modernisasi } yang strategis dalam memahami ajaran Islam { Al-Qur'an dan Hadits } secara proporsional.
Bahwa sesungguhnya Dahlan mencoba menggugat praktek pendidikan Islam pada masanya. Pada waktu itu pelaksanaan pendidikan hanya dipahami sebagai proses pewarisan adat dan sosialisasi perilaku individu maupun social yang telah menjadi model baku dalam masyarakat. Pendidikan tidak memberikan kebebasan peserta didik untuk berkreasi, padahal menurut Dahlan pengembangan daya kritis, sikap dialogis, menghargai potensi akal dan hati yang suci, merupakan cara strategis bagi peserta didik mencapai pengetahuan tertinggi.
Sesungguhnya Dahlan menginginkan pengelolaan pendidikan Islam secara modern dam professional, sehingga pendidkan yang dilaksanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik menghadapi dinamika zamannya. Dalam hal ini, setidaknya pemikiran pendidikan KH Ahmad Dahlan dapat diletakan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional
Pribadi Ahmad Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Manaar, meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam, menyerukan ijtihad tapi menolak taqlid . Kehidupan kaum muslim sekarang ini sangat mengharapkan adanya pikiran-pikiran baru mencerahkan sehingga keyakinan Islamiah tampil di hadapan problem-problem aktual kaum muslimin seperti keterbelakangan dan kolonialisme.
Hampir seluruh pemikiran Dahlan berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat Islam waktu itu yang tenggeiam dalam kejumudan { stagnasi }, kebodohan, serta keterbelakangan. Kondisi ini semakin diperparah dengan politik kolonial Belanda yang sangat merugikan bangsa Indonesia. Latar belakang situasi dan kondisi tersebut telah mengilhami munculnya ide pembaharuan Dahlan. Ide ini sesungguhnya telah muncul sejak kunjungannya pertama ke Makkah. Kemudian ide tersebut lebih dimantapkan setelah kunjungannya yang kedua. Hal ini berarti, bahwa kedua kunjungannya merupakan proses awal terjadinya kontak intelektualnya baik secara langsung maupu tidak langsung dengan ide-ide pembaharuan yang terjadi di Timur Tengah pada awal abad XX .
Secara umum, ide-ide pembaharuan Dahlan dapat diklasifikasikan pada dua dimensi, yaitu:
1. Berupaya memurnikan ( purifikasi ) ajaran islam dari Khurafat, tahayul dan bid'ah yang telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat Islam dan telah berlangsung cukup lama.
2. Mengajak umat Islam untuk keluar dari jaring terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio yang sesuai dengan yang diajarkan Nabi SAW.
Sebenarnya usaha pembaharuan K.H.A.Dahlan sudah dimulai sejak 1896 yaitu dengan:
1. Mendirikan surau yang diarahkan ke Kiblat yang betul dan berlanjut membuat garis shaf di Masjid Agung yang akibatnya tidak hanya garis shaf harus dihapus, tetapi suraunya dibongkar.
2. Menganjurkan supaya Muslim berpuasa dan berhari raya menurut hisab.
Menurut Dahlan upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan . Oleh karena itu pendidikan hendaknya di tempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Mereka hendaknya dididik agar cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memeta dinamikan kehidupannya pada masa depan.
Adapun kunci untuk meningkatkan kemajuan umat islam adalah kembali kepada Al-Qur'an dan hadits. Mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam secara komprehensif, menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui pendidikan. Pelaksanaan pendidikan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal ( khaliq ) maupun horizontal ( makhluk ).
Meskipun dalam banyak tempat, Al-Qur'an senantiasa menekankan pentingnya penggunaan akal, akan tetapi Al-Qur'an juga mengakui akan keterbatasan kemampuan akal. Hal ini memiliki dua dimensi, yaitu fisika dan metefisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut yaitu dimensi ruh dan jasad. Batasan di atas memberikan arti, bahwa dalam epistemologi pendidikan Islam, ilmu pengetahuan dapat diperoleh apabila peserta didik ( manusia ) mendaya gunakan berbagai media, baik yang diperoleh melelui persepsi indrawi, akal, kalbu, wahyu maupun ilham. Oleh karena itu, aktifitas pendidikan dalam Islam hendaknya memberikan kemungkinan yang sebesar-besarnya bagi pengembangan kesemua dimensi.
Menurut A.Dahlan, pengembangan tersebut hendaknya merupakan proses integrasi ruh dan jasad. Konsep ini diketengahkannya dengan menggariskan perlunya pengkajian ilmu pengetahuan secara langsung, sesuai prinsip-prinsip Al-Qur'an dan sunah, bukan semata-mata dari kitab tertentu. Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut bukan merupakan hal yang mudah, terutama bila dikaitkan dengan kondisi objektif lembaga-lembaga pendidikan Islam-Islam tradisional waktu itu. Dalam hal ini, Dahlan melihat bahwa problem epistemologi dalam pendidikan Islam tradisional disebabkan karena idiologi ilmiahnya hanya terbatas pada dimensi religious yang membatasi diri pada pengkajian kitab-kitab klasik para mujtahid terdahulu, khususnya dalam madzhab Syafi'i. Sikap ilmiah yang demikian menyebabkan lahirnya pemikir yang tidak mampu mengolah dan menganalisa secara kritis ilmu pengetahuan yang diperoleh, sehingga produktif dan kreatif terhadap perkembangan peradaban kekinian. Untuk itu diperlukan kerangka metodologis yang bebas, sistematis, dan mengacu pada nilai universal ajaran Islam. Proses perumusan kerangka ideal yang demikian, menurut K.H.A.Dahlan disebut dengan proses ijtihad yaitu mengarahkan otoritas intelektual untuk sampai pada suatu konklusi tentang berbagai persoalan. Dalam konteks ini, pendidikan merupakan salah satu bentuk artikulasi tajdid {modernisasi } yang strategis dalam memahami ajaran Islam { Al-Qur'an dan Hadits } secara proporsional.
Bahwa sesungguhnya Dahlan mencoba menggugat praktek pendidikan Islam pada masanya. Pada waktu itu pelaksanaan pendidikan hanya dipahami sebagai proses pewarisan adat dan sosialisasi perilaku individu maupun social yang telah menjadi model baku dalam masyarakat. Pendidikan tidak memberikan kebebasan peserta didik untuk berkreasi, padahal menurut Dahlan pengembangan daya kritis, sikap dialogis, menghargai potensi akal dan hati yang suci, merupakan cara strategis bagi peserta didik mencapai pengetahuan tertinggi.
Sesungguhnya Dahlan menginginkan pengelolaan pendidikan Islam secara modern dam professional, sehingga pendidkan yang dilaksanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik menghadapi dinamika zamannya. Dalam hal ini, setidaknya pemikiran pendidikan KH Ahmad Dahlan dapat diletakan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional
B. Ki Hajar Dewantara
1.
Riwayat Hidup
Tokoh ini sangat identik dengan
pendidikan di Indonesia. Dia dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional.Hari lahirnya
diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya pun dipakai oleh
Departemen Pendidikan RI sebagai jargon, yaitu tut wuri
handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarsa sung tulada (di
belakang memberi dorongan, di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa, di
depan memberi teladan).
Ki Hajar Dewantara dilahirkan di
Yogyakarta (2 Mei 1889) dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Semasa
kecilnya, RM Soewardi Soeryaningrat sekolah di ELS (SD Belanda). Kemudian, ia
melanjutkan ke STOVIA (sekolah dokter bumiputra), namun tidak tamat. Setelah
itu, dia bekerja sebagai wartawan di Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.
Tulisan-tulisannya sangat tajam dan patriotik sehingga membangkitkan semangat
antipenjajahan.
Selain menjadi wartawan, RM Soerwardi
Soeryaningrat juga aktif di organisasi sosial dan politik. Tahun 1908 ia aktif
di seksi propaganda Boedi Oetomo. Kemudian, bersama Douwes Dekker dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (25 Desember 1912) yang
bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Namun partai ini ditolak oleh pemerintah
Belanda.
Kemudian, ia dan kawan-kawannya
membentuk Komite Bumipoetra (1913) untuk melancarkan kritik terhadap Pemerintah
Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari
penjajahan Prancis. Untuk membiayai pesta tersebut Pemerintah Belanda menarik
uang dari rakyat jajahannya.RMSoewardi
Soeryaningrat mengkritik lewat tulisannya “Als Ik Eens Nederlander Was”
(Seandainya Aku Seorang Belanda) dan “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een”
(Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga).
Akibat
tulisannya itu, RM Soerwardi Soeryaningrat dijatuhi hukuman buang ke Pulau
Bangka oleh Gubernur Jenderal Idenburg tanpa proses pengadilan. Douwes Dekker
dan Cipto Mangoenkoesoemo yang merasa rekan seperjuangan diperlakukan tidak
adil menerbitkan tulisan untuk membela Soewardi.Belanda menganggap tulisan itu
menghasut rakyat untuk memberontak pada pemerinah kolonial.Akibatnya, keduanya
pun terkena hukuman buang, Douwes Dekker ke Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo ke
Banda.
Hukuman itu ditolak, mereka meminta
untuk dibuang ke Negeri Belanda agar bisa belajar.Keinginan tersebut diterima
dan mereka diizinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari
pelaksanaan hukuman.Selama di negara kincir angin tersebut, Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte dan
kembali ke tanah air pada 1918.
Sekembalinya
ke tanah air, bersama rekan-rekannya, RM Soewardi Soeryaningrat mendirikan
Perguruan Nasional Tamansiswa (3 Juli 1922).Perguruan ini mendidik para
siswanya untuk memiliki nasionalisme sehingga mau berjuang untuk memperoleh
kemerdekaan. Demi memuluskan langkahnya-langkahnya, RM Soewardi Soeryaningrat
pun berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara. Sebagai seorang bangsawan yang
berasal dari lingkungan Kraton Yogyakarta dan dengan gelar RM di depan namanya,
dia kurang leluasa bergerak.
Aktivitas
Tamansiswa pun ditentang oleh Pemerintah Belanda melalui Ordonasi Sekolah Liar
pada 1932. Dengan gigih RM Soewardi Soeryaningrat pun berjuang hingga ordonansi
itu dicabut.Sambil mengelola Tamansiswa, RM Soewardi Soeryaningrat tetap rajin menulis.Namun bukan
lagi soal politik, melainkan soal pendidikan dan kebudayaan berwawasan
kebangsaan.Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar
pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Tahun
1943, ketika Jepang menduduki Indonesia, Ki Hajar Dewantara bergabung ke Pusat
Tenaga Rakyat (Putera).Di organisasi tersebut, dia menjadi salah seorang
pimpinan bersama Soekarno, Muhammad Hatta, dan K.H. Mas Mansur. Setelah
Indonesia merdeka, ia pun dipercaya menjabat Menteri Pendidikan, Pengajaran,
dan Kebudayaan yang pertama. Berbagai aktivitasnya dalam memperjuangkan
pendidikan di tanah air sebelum hingga Indonesia merdeka tersebut, membuatnya
dianugerahui gelar doktor kehormatan oleh Universitas Gadjah Mada (1957).
Ki Hajar Dewantara meninggal pada 28
April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di Kampung Celeban
(Yogyakarta).Kemudian, atas jasa-jasanya, pendiri Taman siswa itu ditetapkan
sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional.Ki Hajar Dewantara pun mendapat gelar
Bapak Pendidikan Nasional dan tanggal kelahirannya, 02 Mei, ditetapkan sebagai
Hari Pendidikan Nasional.
2. Pemikiran Ki
Hajar Dewantara
Filosofi pendidikan Ki Hajar
Dewantara menempatkan kemerdekaan sebagai syarat dan juga tujuan membentuk kepribadian
dan kemerdekaan batin bangsa Indonesia agar peserta didik selalu kokoh berdiri
membela perjuangan bangsanya.
Karena kemerdekaan menjadi tujuan
pelaksanaan pendidikan, maka sistim pengajaran haruslah berfaedah bagi
pembangunan jiwa dan raga bangsa. Untuk itu, di mata Ki Hajar Dewantara,
bahan-bahan pengajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan hidup rakyat.
Bagi Ki Hajar Dewantara, pendidikan
tidak boleh dimaknai sebagai paksaan; kita harus mengunakan dasar tertib dan
damai, tata tentram dan kelangsungan kehidupan batin, kecintaan pada tanah air
menjadi prioritas. Karena ketetapan pikiran dan batin itulah yang akan
menentukan kualitas seseorang.
Memajukan pertumbuhan budi pekerti-
pikiran merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan, agar pendidikan
dapat memajukan kesempurnaan hidup. Yakni: kehidupan yang selaras dengan
perkembangan dunia. Tanpa meninggalkan jiwa kebangsaan.
Dunia terus mengalami perkembangan,
pergaulan hidup antar satu bangsa dengan bangsa lainnya tidak dapat terhindarkan.
Pengaruh kebudayaan dari luar semakin mungkin untuk masuk berakulturasi dengan
kebudayaan nasional. Oleh karena itu, seperti dianjurkan Ki Hajar Dewantara,
haruslah kita memilih mana yang baik untuk menambah kemulian hidup dan mana
kebudayaan luar yang akan merusak jiwa rakyat Indonesia dengan selalu
mengingat: semua kemajuan dilapangan ilmu pengetahuan harus terorientasikan
dalam pembangunan martabat bangsa.
Syarat pengetahuan
Pendidikan yang teratur adalah yang
bersandar pada perkembangan ilmu pengetahuan atau ilmu pendidikan. Ilmu ini
tidak boleh berdiri sendiri; ada saling hubugan dengan pengetahuan lain. Ilmu
harus berfungsi sebagai pelengkap sempurnanya mutu pendidikan dan pembangunan
karakter kebangsaan yang kuat.
Dalam menyelenggarakan pengajaran
dan didikan kepada rakyat, Ki Hajar menganjurkan agar kita tetap memperhatikan
ilmu jiwa (psyhologie), ilmu jasmani, ilmu keadaban dan kesopanan (etika dan
moral), ilmu estetika, dan menerapkan cara-cara pendidikan yang membangun
karakter.
Seorang pendidik yang baik, kata Ki
Hajar Dewantara, harus tahu bagaimana cara mengajar, memahami karakter peserta
didik dan mengerti tujuan pengajaran. Agar dapat mewujudkan hasil didikan yang
mempunyai pengetahuan yang mumpuni secara intelektuil maupun budi pekerti serta
semangat membangun bangsa.
Relevansi ajaran Ki Hajar Dewantara
Pendidikan nasional saat ini
memiliki segudang persoalan, mulai dari wajah pendidikan yang berwatak pasar
yang menyebabkan hilangnya daya kritis tenaga didik terhadap persoalan
bangsanya hingga pemosisian lembaga pendidikan sebagai sarana menaikan starata
sosial dan ajang mencari ijazah belaka.
Peranan
pendidikan, yang sejatinya untuk pembangunan bangsa, telah didisorientasikan
oleh kekuasaan guna kepentingan kapital semata. Di sini, pendidikan tak lebih
dari alat akumulasi keuntungan.
Disamping itu, kandungan pendidikan
dan pengajaran sekarang ini tidak memuat nilai-nilai kebangsaan. Pendidikan
sekarang hanya melahirkan Sikap individualisme, hedonisme dan hilangnya jiwa
merdeka. Hasil pendidikan seperti ini tidak dapat diharapkan membangunan
kehidupan bangsa dan negara bermartabat.
Di sinilah relevansi pemikiran Ki
Hajar Dewantara di bidang pendidikan: mencerdaskan kehidupan bangsa hanya
mungkin diwujudkan dengan pendidikan yang memerdekakan dan membentuk karakter
kemanusian yang cerdas dan beradab. Oleh karena itu, konsepsi pendidikan Ki
Hajar Dewantara dapat menjadi salah satu solusi membangun kembali pendidikan
dan kebudayaan nasional yang telah diporak-porandakan oleh kepentingan kekuasan
dan neoliberalisme.
C. Mohammad Syafe’i
Sejarah
mencatat, sampai dengan tahun 1970-an Minangkabau adalah "gudang para
pemimpin Republik". Saatnya untuk kembali berbenah diri, menggali kembali
budaya Minang (etos kerja, falsafah hidup, adat dan tradisi Minang)
menjadikannya "pupuk" untuk memupuk tanaman yang bernama
"Indonesia".
Menurut Dr. Farid Anfasa Moelok, SpOG (K), mantan Menteri Kesehatan RI yang pernah sekolah di Kayutanam , Rabu pagi tadi, hal itu disebabkan Sumatera Barat memiliki lembaga pendidikan setingkat SMA yang hebat. Ketika Jawa memiliki tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantoro dengan Taman Siswa maka Sumatera Barat pun mempunyai tokoh pendidikan yang tak kalah hebat yakni Engku Muhammad Syafei dengan Sekolah Menengah INS Kayutanam, yang terletak antara Padang dan Bukit Tinggi.
INS Kayutanam didirikan oleh Engku Muhammad Syafei pada tanggal 31 Oktober 1926 di Kayutanam, sebuah desa kecil di Sumatera Barat. Sejak berdiri hingga perang kemerdekaan, perguruan ini telah berkibar namanya, bersamaan dengan berkibarnya nama Perguruan Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara di pulau Jawa.
Sebagai lembaga pendidikan swasta, INS mengalami pasang surut di dalam kemajuan dan perkembangannya, namun demikian “ruh” pendidikan INS yang dikibarkan oleh Engku Muhammad Syafei tetap hidup, dan bahkan kemudian diakui oleh Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan sistem pendidikan nasional.
Pola pendidikan yang dianut dan diterapkan di INS adalah pendidikan berbasis talenta, ini didasarkan pada falsafah Minang yang tersimpul melalui ungkapan,
“Alam terkembang jadi guru” (belajarlah dari alam dan pelajarilah alam itu), dan ucapan Engku Syafei, “Janganlah minta buah mangga kepada pohon rambutan, tetapi jadikanlah setiap pohon menghasilkan buah yang manis! (setiap insan memiliki talenta berbeda), serta, “ Jadilah engkau menjadi engkau!”
Oleh karena itu, dasar pendidikan di INS Kayutanam ini adalah mendorong tumbuh dan berkembangnya bakat bawaan (talenta) yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik. Ini yang “membedakan” pendidikan menengah di INS dengan pendidikan menengah yang kita kenal sebagai Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), atau Sekolah Menengah Kejuruan(SMK). “Perbedaan” juga terdapat dalam hal sebagai berikut :
Mata pelajaran Bahasa Indonesia (yang terkait dengan aspek akademik) di INS Kayutanam digunakan untuk merangsang tumbuh dan berkembangnya talenta peserta didik dalam bidang: 1) Jurnalis,
Menurut Dr. Farid Anfasa Moelok, SpOG (K), mantan Menteri Kesehatan RI yang pernah sekolah di Kayutanam , Rabu pagi tadi, hal itu disebabkan Sumatera Barat memiliki lembaga pendidikan setingkat SMA yang hebat. Ketika Jawa memiliki tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantoro dengan Taman Siswa maka Sumatera Barat pun mempunyai tokoh pendidikan yang tak kalah hebat yakni Engku Muhammad Syafei dengan Sekolah Menengah INS Kayutanam, yang terletak antara Padang dan Bukit Tinggi.
INS Kayutanam didirikan oleh Engku Muhammad Syafei pada tanggal 31 Oktober 1926 di Kayutanam, sebuah desa kecil di Sumatera Barat. Sejak berdiri hingga perang kemerdekaan, perguruan ini telah berkibar namanya, bersamaan dengan berkibarnya nama Perguruan Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara di pulau Jawa.
Sebagai lembaga pendidikan swasta, INS mengalami pasang surut di dalam kemajuan dan perkembangannya, namun demikian “ruh” pendidikan INS yang dikibarkan oleh Engku Muhammad Syafei tetap hidup, dan bahkan kemudian diakui oleh Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan sistem pendidikan nasional.
Pola pendidikan yang dianut dan diterapkan di INS adalah pendidikan berbasis talenta, ini didasarkan pada falsafah Minang yang tersimpul melalui ungkapan,
“Alam terkembang jadi guru” (belajarlah dari alam dan pelajarilah alam itu), dan ucapan Engku Syafei, “Janganlah minta buah mangga kepada pohon rambutan, tetapi jadikanlah setiap pohon menghasilkan buah yang manis! (setiap insan memiliki talenta berbeda), serta, “ Jadilah engkau menjadi engkau!”
Oleh karena itu, dasar pendidikan di INS Kayutanam ini adalah mendorong tumbuh dan berkembangnya bakat bawaan (talenta) yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik. Ini yang “membedakan” pendidikan menengah di INS dengan pendidikan menengah yang kita kenal sebagai Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), atau Sekolah Menengah Kejuruan(SMK). “Perbedaan” juga terdapat dalam hal sebagai berikut :
Mata pelajaran Bahasa Indonesia (yang terkait dengan aspek akademik) di INS Kayutanam digunakan untuk merangsang tumbuh dan berkembangnya talenta peserta didik dalam bidang: 1) Jurnalis,
2) Cerpenis,
3) Novelis,
3) Novelis,
4) Penulis
4) Penulis Naskah:
• Drama,
• Skenario Filem,
• Skenario Sinetron (TV).
5) Penulis Buku,
6) Pengajar Bahasa Indonesia,
7) Penerjemah,
8) Editor Buku,
9) Editor Majalah,
10) Reporter TV,
11) Presenter TV,
12) Kejujuran,
13) Akhlak Mulia.
Hal yang sama juga berlaku untuk mata pelajaran matematika, bahasa inggris, fisika, biologi, kimia, dan mata pelajaran lainnya.
Alhasil peserta didik disiapkan untuk menjadi insan mandiri dan wirausahawan yang menciptakan lapangan kerja, bukan pegawai. Hal yang amat berbeda dengan pola pendidikan di Jawa yang disiapkan untuk menjadi pegawai negeri.
4) Penulis Naskah:
• Drama,
• Skenario Filem,
• Skenario Sinetron (TV).
5) Penulis Buku,
6) Pengajar Bahasa Indonesia,
7) Penerjemah,
8) Editor Buku,
9) Editor Majalah,
10) Reporter TV,
11) Presenter TV,
12) Kejujuran,
13) Akhlak Mulia.
Hal yang sama juga berlaku untuk mata pelajaran matematika, bahasa inggris, fisika, biologi, kimia, dan mata pelajaran lainnya.
Alhasil peserta didik disiapkan untuk menjadi insan mandiri dan wirausahawan yang menciptakan lapangan kerja, bukan pegawai. Hal yang amat berbeda dengan pola pendidikan di Jawa yang disiapkan untuk menjadi pegawai negeri.
2. Konsep Pemikiran Pendidikan Menurut Moh.
Syafei
Pada saat Moh. Syafei belajar di Belanda, beliau mempunyai tujuan memperluas
wawasan dan pengalaman, agar dapat menjawab pertanyaan, bagaimana corak
pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yang dapat
mencerdaskan otaknya? Setelah mempelajari, menyelami, dan mempertimbangkan
baik-buruknya, sampailah pada kesimpulan bahwa pendidikan dan pengajaran
yang tepat diberikan kepada bangsa Indonesia adalah pendidikan dan pengajaran
yang mampu mengaktifkan murid. Moh. Syafei juga mempunyai prinsip pendidikan
merupakan sesuatu yang melahirkan kemandirian dan kreatifitas. Selain itu Moh.
Syafei juga mengemukakan “bahwa metode dan sistem pendidikan yang tepat untuk
bangsa yang merdeka, ialah seperti apa yang berlaku di negeri merdeka, bukan
seperti yang berlaku di negeri jajahan”
Dasar
Filosofis Pendidikan
a.
Nasionalisme
Muhammad Syafei mendasarkan konsep pendidikannya pada nasionalisme dalam arti
konsep dan praktek penyelenggaraan pendidikan INS Kayutanam di dasarkan pada
cita-cita menghidupkan jiwa bangsa Indonesia dengan cara mempersenjatai dirinya
dengan alat daya upaya yang dinamakan aktif kreatif untuk menguasai alam.
Mohammad Syafei dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Cipto Mangunkusumo dan
Douwes Dekker dan Perhimpunan di negeri Belanda. Karena semangat
nasionalismenya yang sedang tumbuh menimbulkan pertanyaan, mengapa bangsa
Belanda yang jumlahnya sedikit dapat menguasai bangsa Indonesia yang jumlahnya
sangat besar. Ternyata faktor alam dan lingkungan masyarakat mempengaruhi jiwa
manusia. Nasionalisme dari Moh. Syafi adalah nasionalisme progmatis yang didasarkan
pada agama, yaitu nasionalisme yang tertuju pada membangun bangsa melalui
pendidikan agar menjadi bangsa yang pandai berbuat untuk kehidupan manusia atas
segala sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan. Moh. Syafei menyatakan Tuhan tidak
sia-sia menciptakan manusia dan alam lainnya. Tiap-tiapnya mesti berguna, dan
kalau ini tidak berguna hal itu disebabkan karena kita yang tidk pandai
menggunakannya.
b.
Developmentalisme
Pandangan pendidikan Moh. Syafei sangat dipengaruhi oleh aliran Developmentalisme,
terutama oleh gagasn sekolah kerja yang dikembangkan oleh John Dewey dan George
Kerschensteiner, serta pendidikan alam sekitar yang dikembangkan Jan Ligthar.
Dan pendapat dari para tokoh tersebut adalah sebagai berikut:
Ø Pandangan John Dewey bahwa
pendidikan harus tertuju pada efesiensi sosial, atau kemanfaatan pada kehidupan
sosial, dan belajar berbuat atau belajar melalui pengalaman langsung yang lebih
dikenal dengan sebutan learning by doing, mempunyai pengaruh besar terhadap
konsep pendidikan Muhammad Syafei.
Ø Menurut Kerschensteiner, tugas
utama pendidikan adalah pengembangan warga negara yang baik, dan sekolah
aktivitasnya berusaha mendidik warga Negara yang berguna dengan jalan:
1.
Membimbing anak untuk bekerja
menghidupi dirinya sendiri.
2.
Menanamkan dalam dirinya gagasan
bahwa setiap pekerjaan mempunyai tempatnya masing-masing dalam member pelayanan
kepada masyarakat.
3.
Mengajarkan kepada anak bahwa
melalui pekerjaannya,ia akan member sumbangan dalam turut serta membantu
masyarakat untuk kearah suatu kehidupan bersama lebih sempurna.
Gagasan dan model sekolah yang dikembangkan Kersschenteiner
sangat mempengaruhi konsep dan praktek pendidikan Mohammad Syafei
di INS Kayu Tanam.
Ø Menurut Jan Lightart, seorang guru haruslah memperlakukan
murid dengan kasih sayang. Oleh karena itu, teori pendidikannya disebut
pedagogik lemah lembut atau “soft pedagogy”. Konsep Jan Lightart tentang
sekolah kerja yang menyelenggarakan pendidikan alam sekitar, sangat
mempengaruhi konsep pendidikan Moh. Syafei yang diterapkan dalam pendidikan INS
Kayutanam.
Teori Pendidikan Dari Moh. Syafei
v Fungsi Pendidikan
1. Pendidikan menurut Moh. Syafei memiliki fungsi membantu
manusia keluar sebagai pemenang dalam perkembangan kehidupan dan persaingan
dalam penyempurnaan hidup lahir dan batin antar bangsa (Thalib Ibrahim, 1978:
25). Disini tampak bahwa pendidikan berfungsi sebagai instrumen yang digunakan
manusia dalam mengarungi evolusi kehidupan. Manusia tau kelompok tertentu dalam
evolusi kehidupan dapat tersisih dan kalah, seperti bangsa Indonesia kala itu,
karena tingkat kesempurnaan hidup lahir dan batinnya memang berada pada tingkat
yang rendah. Untuk mengatasi hal ini, mereka membutuhkan pendidikan yang tepat.
2. Manusia dan bangsa yang dapat bertahan ialah manusia dan
bangsa yang dapat mengikuti perkembangan masyarakat atau zamannya. Untuk
kepentingan ini ia mengusulkan konsep sekolah kerja atau sekolah kehidupan atau
sekolah masyarakat.
v Tujuan Personal Pendidikan
1. Tunjuan pendidikan dan
pengajaran adalah membentuk secara terus menerus kesempurnaan lahir dan batin
anak agar anak dapat mengikuti perkembangan masyarkat yang selalu mengalami
perubahan dan kemajuan. Kesempurnaan lahir dan batin ini ditafsirkan berlainan
antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lainnya, antara kelompok masyarakat
yang satu dengan yang lainnya. Namun demikian, setiap bangsa atau masyarakat
ingin keluar sebagai pemenang dalam perlombaan yang maha seru antara mereka
dalam penyempurnaan hidup lahir dan batin ini (Thalib Ibrahim, 1978: 24-25).
Selain kesempurnaan lahir dan batin ini berbeda-beda, ia juga selalu berkembang
sejalan dengan perkembangan masyarakat. Sejarah peradaban manusia menunjukkan
hal ini, yaitu perubahan dari tingkat hewani dan primitif menuju
2. Pemikiran Syafei di atas menyarankan
kesempurnaan hidup lahir dan batin yang harus selalu diperbaharui. Hal ini
terungkap dalam pemikiran G. Revesz seperti yang dikutip oleh Syafei “bahwa
lapangan pendidikan mesti berubah menurut zamannya, seandainya orang masih
beranggapan, bahwa susunan pendidikan dan pengajaran yang berlaku sekarang
adalah sebaik-baiknya dan tidak akan diubah lagi, maka orang atau lembaga yang
berpendirian dan berpikir demikian telah jauh menyimpang dari kebenaran”.
Mengenai pendidikan yang berlaku kini (zaman Hindia Belanda), Syafei
mengutarakan bahwa murid itu hanyalah dijadikan obyek dari guru, dan guru
merupakan subyek. Kini harus dirombak berupa muridlah yang merupakan subyek
yang dipimpin oleh guru dan orang tua.
3. Dari uraian diata, tujuan personal
pendidikan menurut Syafei dapat dideskripsikan dengan ringkas sebagai berikut:
Manusia yang sempurna lahir dan batin karena jiwa dan
hatinya terlatih dan otaknya berisi konsep-konsep ilmu, hingga ia berbuat aktif
kreatif dalam menghidupi lingkungannya.
v Kurikulum
Kurikulum yang dikembangkan Moh. Syafei merupakan kurikulum
untuk pendidikan dasar. Meskipun demikian, untuk tahun-tahun awal sekolah dasar
ia menghendaki kurikulumnya berupa pendidikan prasekolah. Contohnya kegiatan
bermain-main dengan pasir, kertas dan lain-lain mendapat perhatian istimewa.
Dengan demikian dari segi ini, kurikulum pendidikan dasarnya terdiri atas
kurikulum pendidikan dan kurikulum pendidikan prasekolah. Adapun dari segi tujuan
personal pendidikan, kurikulumnya terdiri atas pendidikan umum dan pendidikan
kejuruan. Pendidikan kejuruannya disebut sebagai pelajaran pekerjaan tangan.
Yang menjadi pusat dari seluruh kurikulumnya adalah pelajrn pekerjaan tangan.
Hal ini sesuai dengan pandangannya bahwa perbuatan atau aktivitas adalah saluran
terbaik pengetahuan menuju jiwa atau kesadaran seseorang.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian materi diatas dapat kita simpulkan bahwa para tokoh – tokoh penidikan di Indonesia memiliki konsep pemikiran
dalam mendirikan dan memajukan dunia pendidikan yaitu :
1. Pribadi Ahmad Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang
menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Manaar, meskipun tidak punya latar
belakang pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas
melalui ajaran Islam, menyerukan ijtihad tapi menolak taqlid . Kehidupan kaum
muslim sekarang ini sangat mengharapkan adanya pikiran-pikiran baru mencerahkan
sehingga keyakinan Islamiah tampil di hadapan problem-problem aktual kaum
muslimin seperti keterbelakangan dan kolonialisme.
2. Ki Hajar
Dewantara, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya
manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia
seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang
terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan
perkembangan sebagai manusia.
3. Pendidikan
menurut Moh. Syafei memiliki fungsi membantu manusia keluar sebagai pemenang
dalam perkembangan kehidupan dan persaingan dalam penyempurnaan hidup lahir dan
batin antar bangsa (Thalib Ibrahim, 1978: 25). Tujuan pendidikan dan
pengajaran adalah membentuk secara terus menerus kesempurnaan lahir dan batin
anak agar anak dapat mengikuti perkembangan masyarkat yang selalu mengalami
perubahan dan kemajuan. tujuan personal pendidikan menurut Syafei dapat
dideskripsikan dengan ringkas sebagai berikut: Manusia yang sempurna lahir dan
batin karena jiwa dan hatinya terlatih dan otaknya berisi konsep-konsep ilmu,
hingga ia berbuat aktif kreatif dalam menghidupi lingkungannya. Kurikulum yang
dikembangkan Moh. Syafei merupakan kurikulum untuk pendidikan dasar. Meskipun
demikian, untuk tahun-tahun awal sekolah dasar ia menghendaki kurikulumnya
berupa pendidikan prasekolah. Muhammad Syafei mendasarkan konsep pendidikannya
pada nasionalisme dalam arti konsep dan praktek penyelenggaraan pendidikan INS
Kayutanam di dasarkan pada cita-cita menghidupkan jiwa bangsa Indonesia dengan
cara mempersenjatai dirinya dengan alat daya upaya yang dinamakan aktif kreatif
untuk menguasai alam.
DAFTAR PUSTAKA
Drijarkara. 1980. Tentang Pendidikan.
Jakarta: Yayasan Kanisius
Mudyahardjo,
R., Pengantar Pendidikan,
Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010.
Tim Dosen FIP IKIP Malang. 1987. Pengantar
Dasar-Dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional
Tirtaraharja, Umar dan La Sulo, 1996. Pengantar
Pendidikan. FIP IKIP Ujung Pandang
http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=13527:mencontoh-pendidikan-karakter-ke-ins-kayutanam&catid=11:opini&Itemid=83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar